PENILAIAN YANG MEMANUSIAKAN
Oleh: Krisna Merdekawati
ABSTRAK
Penilaian menjadi bagian yang tak dapat dipisahkan dengan pembelajaran. Menjadi pertanyaan apakah penilaian yang kita lakukan selama ini telah menumbuhkembangkan potensi peserta didik atau justru malah mematikan potensi dan keunikan mereka? Apakah penilaian yang dilakukan memunculkan motivasi atau justru keengganan untuk belajar? Pembangunan masyarakat beradab tentu membutuhkan sistem pendidikan yang paripurna, menyeluruh. Salah satu upaya yang dapat kita lakukan adalah membangun penilaian yang memanusiakan peserta didik. Bukan sekedar penilaian yang diseragamkan. Penilaian yang melihat kemajuan dan ikhtiar-ikhtiar mendapatkan pengetahuan itu sendiri.
- PENDAHULUAN
Telah terjadi pergeseran paradigma dalam pembelajaran. Pembelajaran telah lama dianggap sebagai akumulasi potongan-potongan pengetahuan yang diurutkan, hierarkis dan perlu diajarkan secara eksplisit. Namun, kini pembelajaran dipandang sebagai proses membangun pemahaman, individu secara aktif menghubungkan informasi baru dengan apa yang telah mereka ketahui (Western and Northern Canadian Protocol, 2006). Pembelajaran juga dipandang sebagai proses sosial dan budaya yang terjadi dalam konteks hubungan dan aktivitas manusia, bukan sekedar aktivitas berpikir secara individual (Marling, 2012).
Pergeseran paradigma dalam pendidikan cenderung mengarah pada konstruktivisme (Jena &Behera, tanpa tahun). Konstruktivisme adalah pendekatan pembelajaran yang menyatakan bahwa orang secara aktif mengkonstruksi atau membuat pengetahuan mereka sendiri dan bahwa realitas ditentukan oleh pengalaman pembelajar (Kirthika, 2022; Kurt, 2021). Dapat kita pahami bahwa konstruktivisme memandang peserta didik sebagai subyek aktif bukan semata obyek pasif yang menerima pengetahuan.
Pergeseran paradigma pembelajaran seharusnya juga diikuti dengan pengembangan kurikulum. Kurikulum harus disusun secara spiral sehingga peserta didik terus menerus membangun apa yang telah mereka pelajari (Shah, 2019). Tak hanya pada kurikulum, sistem penilaian juga perlu diperhatikan. Konstruktivisme memandang belajar sebagai upaya aktif konstruksi pengetahuan, sehingga penilaian mengacu pada proses pengumpulan informasi yang terintergrasi dalam pembelajaran. Penilaian juga perlu menyediakan umpan balik terkait kinerja peserta didik untuk mendorong peserta didik belajar lebih lanjut secara spiral. Konstruktivisme mempromosikan rasa kepemilikan karena peserta didik memiliki kepemilikan atas pembelajaran dan penilaian mereka (Leod, 2019).
Penilaian yang selaras dengan konstruktivisme perlu dikembangkan secara serius. Penilaian yang tak semata untuk mengukur capaian belajar peserta didik, namun harapannya menjadi dorongan untuk terus belajar. Penilaian diharapkan dapat mendeskripsikan secara komprehensif terkait capaian belajar peserta didik. Namun, sebagian besar tes yang dibuat oleh guru hanya membutuhkan ingatan informasi (Brookhart, 2010). Soal-soal tes tingkat ingatan begitu lazim ditemui sebab soal-soal tersebut adalah jenis yang paling mudah untuk dikembangkan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut juga merupakan jenis pertanyaan yang paling mudah untuk ditanyakan di kelas, tidak perlu persiapan khusus dari guru.
Pendidik secara tradisional mengandalkan penilaian yang membandingkan peserta didik dengan teman sebaya yang lebih sukses sebagai sarana untuk memotivasi, tetapi penelitian terbaru menunjukkan bahwa peserta didik akan cenderung termotivasi dan percaya diri ketika mereka mengalami kemajuan dan prestasi, daripada dibandingkan dengan teman sebaya yang lebih sukses (Stiggins, 1998).
Pergeseran paradigma pembelajaran, juga menyebabkan tuntutan pada guru untuk memperbaiki penilaian. Guru sering menanggapi tekanan seperti itu tuntutan untuk menerapkan penilaian otentik dan/atau penilaian berbasis kinerja, namun tampaknya guru hanya memahami sedikit sekali tentang prinsip-prinsip konstruksi dan interpretasi tes (Matthews,2003).
Sepanjang abad ke-20, penilaian dianggap sebagai mekanisme untuk memberikan indeks pembelajaran, dan mengikuti pola yang dapat diprediksi yaitu guru mengajar, menguji pengetahuan peserta didik tentang materi, membuat penilaian tentang pencapaian peserta didik, dan kemudian pindah ke unit kerja berikutnya. Namun, baru-baru ini, pendekatan penilaian ini telah dipertanyakan karena ekspektasi masyarakat terhadap sekolah telah berubah (Western and Northern Canadian Protocol, 2006).
Dari uraian di atas, perlu adanya perhatian serius dalam pengembangan penilaian. Harapannya penilaian yang dikembangkan selaras dengan paradigma konstruktivisme, tak sekedar penilaian hafalan. Penilaian yang ada saat ini apakah mampu menjadikan peserta didik menjadi pembelajar sepanjang hayat? Atau justru penilaian yang menyebabkan mereka enggan untuk belajar, putus asa merasa tak berdaya? Apakah keberhasilan belajar hanya akan dilihat dari angka capaian kompetensi? Tentu tidak, peserta didik memiliki jalan panjang untuk berkembang, jangan matikan potensi mereka dengan penilaian yang justru membuat mereka enggan belajar.
- FILSAFAT PENILAIAN
Objek ontologis filsafat meliputi yang ada dan yang mungkin ada, pemikiran mengenai objek ini memunculkan beragam filsafat, antara lain filsafat kapitalisme, filsafat pragmatisme, filsafat materialisme, filsafat scienticism, dan sebagainya (Marsigit, 2014). Pendidikan terdiferensiasi dari filsafat. Filsafat akan memberi “warna” bagaimana pendidikan dilakukan. Penilaian pun akan terdiferensiasi oleh filsafat yang digunakan. Sebagai contoh, pada filsafat kapitalisme. Pendidikan dengan ragam filsafat kapitalisme, akan memandang peserta didik sebagai wadah kosong yang harus diisi sebanyak-banyaknya pengetahuan oleh guru. Penilaian yang dilakukan berorientasi pada predikat berhasil atau gagal dengan sistem yang distandarisasi. Peserta didik yang berhasil adalah mereka yang berbakat dan memiliki nilai tinggi dalam tes yang distandarisasi, sebaliknya peserta didik yang gagal adalah mereka yang memiliki nilai rendah.
Menurut National Institute for Learning Outcomes Assessment (NILOA), terdapat perbedaan sudut pandang filosofis tentang tujuan, fungsi, dan cara penilaian. Pandangan filosofis terkait penilaian antara lain:
a. teaching and learning
Penilaian dipandang sebagai bagian dari pembelajaran siswa. Tujuan penilaian adalah formatif, untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Dengan demikian,
proses penilaian dipandang sebagai salah satu pembelajaran dan melekat dalam pembelajaran.
b. measurement
Penilaian adalah tentang pengukuran, menentukan ukuran yang paling tepat dan akurat untuk mendokumentasikan dan mencatat pembelajaran serta dampak program terhadap pembelajaran. Perbandingan, data longitudinal, dan kontrol dipandang sebagai bagian integral dari pengukuran.
c. reporting
Penilaian dipandang dilakukan semata-mata untuk memenuhi persyaratan dan tuntutan administrator, badan akreditasi, dan lembaga-lembaga negara. Penilaian hanyalah tentang memenuhi kebutuhan dan persyaratan entitas eksternal untuk tujuan pelaporan.
d. student-centered
Penilaian dipandang sebagai mekanisme dimana siswa dapat belajar tentang pembelajaran mereka sendiri dengan menjadi peserta aktif dalam proses penilaian. Penilaian di sini adalah tentang proses reflektif dan terlibat di mana siswa belajar tentang diri mereka sendiri sebagai pembelajar, bagaimana mereka belajar, apa yang mereka ketahui, dan secara aktif terlibat dan menjadi agen dari proses belajar mereka sendiri. Siswa tidak hanya menjadi objek penilaian, tetapi penerima manfaat utama.
Bagaimana dengan sistem penilaian filsafat Pancasila? Menurut Marsigit, dkk (2018), Pancasila sebagai landasan filosofis negara, seharusnya diejawantahkan dalam pendidikan pada segala jenjang. Ini mengandung makna bahwa peserta didik diberikan kebebasan berkembang, berpikir intelegen, melakukan aktivitas yang bermanfaat. Kebebasan peserta didik tentu dibatasi pada nilai-nilai manusiawi, kultural, dan nilai luhur bangsa. Semestinya penilaian pun dilakukan dengan semangat demokrasi Pancasila.
Berdasar pemikiran Marsigit, dkk di atas, membuka wawasan bahwa keberagaman konteks dan strategi pembelajaran semestinya selaras dengan nilai nilai luhur Pancasila. Semangat Bhineka Tunggal Ika dapat dibangun melalui pembelajaran di kelas. Guru memfasilitasi keragaman siswa, siswa terbiasa menghargai perbedaan. Keragaman ini juga semestinya difasilitasi dalam sistem penilaian. Sistem penilaian yang tidak “memaksa” menyeragamkan siswa. Penilaian yang menyeragamkan siswa menyebabkan orientasi pendidikan menyempit, melahirkan pemikiran masyarakat bahwa siswa yang berhasil adalah siswa yang memiliki nilai akademik yang tinggi. Sesempit itukah pendidikan? Tentu tidak. pendidikan membawa amanah mulia, memanusiakan manusia, tentu sangat picik jika kita memandang kesuksesan siswa hanya dari keberhasilan akademik saja.
- IDEOLOGI PENILAIAN
Ideologi yang digunakan dalam penilaian dapat mempengaruhi, mengkontrol, bahkan menggantikan pengajaran dan praktik institusional lainnya (Radenkovic, 2017). Sebagai contoh sederhana, kebijakan ujian nasional, secara langsung akan mempengaruhi pola pembelajaran di sekolah. Aktivitas sekolah dilakukan untuk memastikan semua siswa mendapatkan nilai baik dalam ujian tersebut. Guru-guru akan terpacu untuk menyelesaikan materi, memberi latihan soal, mengesampingkan kreativitas dan keunikan tiap siswa.
Menurut Marsigit (2014) ideologi pendidikan antara lain: 1) industrial trainer, 2) technological pragmatism, 3) old humanism, 4) progressive educator, 5) public educator. Ideologi pendidikan suatu bangsa, dipengaruhi oleh ideologi bangsa tersebut. Ideologi pendidikan akan menjadi landasan dan arah dalam pelaksanaan pendidikan. Ideologi pendidikan tersebut akan memberi “arah” pada sistem penilaian yang digunakan. Ideologi merupakan bentuk operasional dari filsafat. Penjelasan secara ringkas masing-masing ideologi tersebut sebagai berikut:
a. Industrial trainer, membawa semangat menyiapkan siswa untuk kebutuhan tenaga kerja industry. Ideologi ini berkaitan dengan konteks kebutuhan tenaga kerja saat revolusi industri 1.0 maupun 2.0 yang membutuhkan pekerja-pekerja yang patuh, taat SOP. Hakikat ilmu dipandang sebagai body of knowledge. Pendidikan dioreintasikan pada kebutuhan pasar, siswa dipandang tidak membawa bekal apa-apa saat di awal pembelajaran. Peran guru menjadi sentral dan diorientasikan untuk transfer pengetahuan. Pembelajaran akan diwarnai dengan drill, pengulangan, hafalan hingga siswa mencapai capaian yang distandarisasi. Sumber belajar pun terbatas di ruang kelas, tidak menghadirkan konteks kehidupan ataupun dinamika sosial di kelas. Bakat dan usaha menjadi hal penting yang akan mempengaruhi siswa dalam penilaian eksternal yang distandarisasi. Pembelajaran akan kental dengan penyeragaman.
b. Technological pragmatism, membawa perspektif bahwa pengetahuan semestinya dapat diterapkan dalam aplikasi praktis dan berdaya guna. Masih serupa dengan industrial trainer, yang memandang siswa sebagai “gelas kosong”. Pembelajaran mengarahkan siswa untuk berpikir dan berlatih. Bakat, eksternal motivasi menjadi hal penting dalam keberhasilan pembelajaran. Sumber belajar berupa alat bantu mengajar yang dihadirkan di kelas. Penilaian juga mengacu pada standarisasi, sertifikasi menjadi tujuan dalam pembelajaran.
c. Old humanist memberikan perhatian pada pembangunan karakter. Pengembangan bakat dapat mendukung keberhasilan pembelajaran siswa. Transfer pengetahuan menjadi tujuan dalam pembelajaran, sehingga strategi ekpositori menjadi hal utama yang dilakukan guru. Sumber belajar juga belum memanfaatkan konteks kehidupan dan dinamika sosial, masih terbatas pada alat bantu visual yang dibawa ke kelas. Kompetensi menjadi hal yang akan diamati dalam penilaian yang distandarisasi.
d. Progressive educator memberikan kebebasan berkembang kepada siswa. Memberikan pengalaman menjadi hal yang melekat dalam pembelajaran. Kegiatan eksplorasi adalah kegiatan yang dipandang akan memperkaya pengalaman siswa. Siswa menjadi pusat dalam pembelajaran, bebas bereksplorasi. Pengetahuan dipandang sebagai proses berpikir, kemanusiaan menjadi nilai dalam pembelajaran. Pembelajaran ditujukan untuk menghasilkan insan yang kreatif. Sehingga sumber belajar menjadi beragam untuk mewujudkan kreatifitas siswa. Sistem penilaian menjadi beragam untuk mempotret beragam kemampuan siswa, penilaian portofolio menjadi sistem evaluasi utama. Pembelajaran berjalan secara variatif, sehingga dalam pemecahan masalah akan muncul beragam cara.
Indonesia adalah bangsa yang demokratis, sehingga seharusnya Indonesia mengimplementasikan ideologi pendidikan public educator (Marsigit, 2018). Pendidikan dalam public educator tak sekedar mengkonstruksi pengetahuan tapi juga melakukan pemaknaan (hermeneutika), konteks sosial melekat dalam proses pembelajaran. Hal ini dapat mendorong adanya pembelajaran yang bermakna bagi siswa. Pembelajaran berpusat pada siswa, guru berperan sebagai fasilitator. Siswa sebagai pusat dari pembelajaran, karena dalam diri siswa sendiri telah ada akal dan pengetahuan. Guru memfasilitasi agar siswa mampu mengkonstruksi dan memaknai ilmu dalam konteks kehidupan. Pendidikan yang berpusat pada siswa membawa konsekuensi adanya penghargaan pada keragaman. Tiap manusia diciptakan dengan potensi, keunikan masing-masing. Potensi tiap manusia tidak sama, amat beragam dan akan membekali manusia untuk menjalani peran kehidupan masing-masing. Pembelajaran akan lebih bervariatif untuk mengembangkan keragaman potensi siswa. Pembelajaran kental dengan semangat menghargai dan memanusiakan sesama.
- PARADIGMA DAN TEORI PENILAIAN
Paradigma merupakan asumsi dan ekspektasi yang kita terima tentang bagaimana dunia berkerja dan/atau apa yang kita hargai (Ferrare, tanpa tahun). Menurut Kuhn, paradigma merupakan seperangkat keyakinan atau asumsi dasar yang bertindak sebagai titik acauan dalam membimbing dan mengarahkan aktivitas (Galbraith, 1993). Paradigma penilaian merupakan cara pandang, landasan berpikir yang digunakan dalam melakukan penilaian. Belajar tidak dapat dipisahkan dengan penilaian. Sebagai pendidik tentu kita ingin mengetahui bagaimana capaian siswa setelah belajar. Idealnya penilaian harus searah dengan tujuan dan proses belajar. Perkembangan pengetahuan dan tuntutan kehidupan masyarakat juga mempengaruhi paradigma penilaian. Menurut Community for Advancing Discovery Research in Education (CADRE), pendekatan penilaian yang dianjurkan salah satunya adalah penilaian harus diperluas dengan mengadopsi, mengadaptasi metodologi dari berbagai disiplin ilmu (2012).
Penilaian hasil belajar siswa melibatkan pengumpulan informasi yang sistematis untuk tujuan menentukan apa yang sebenarnya dicapai siswa, secara kritis menggunakan informasi tersebut untuk meningkatkan pembelajaran siswa (Academic Program Assessment, tanpa tahun). Mengacu pada variasi ideologi pendidikan, penilaian dapat dibedakan penilaian dapat dibedakan antara lain external test, portofolio, social, contextual, penilaian berbasis kelas, penilaian autentik. Lalu bagaimana penilaian yang ideal? Jika mengacu pada ideologi progressive educator dan public educator, maka penilaian diarahkan kepada penilaian portofolio (Marsigit, 2014). Penilaian portofolio memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengeksplorasi diri. Pendidik menilai koleksi karya siswa dari waktu ke waktu. Penilaian ini dapat mendorong siswa untuk mandiri, mengembangkan kemampuan metakognisi siswa untuk menilai diri sendiri dan menentukan perbaikan belajar (Nitko & Brookhart, 2014). Pengembangan penilaian portofolio tidak dapat dilakukan secara serampangan. Penilaian seharusnya inline antara paradigma ilmu, tujuan pendidikan, teori belajar mengajar, proses belajar, sumber belajar yang digunakan. Siswa akan mempelajari apa yang dimaksudkan dalam penilaian jika ada kecocokan antara tugas penilaian, kegiatan belajar, dan tujuan (Genon&Torres, 2020).
Berdasarkan pengalaman penulis, external test cenderung abai pada keunikan individu. Tiap siswa diukur dengan alat yang distandarisasi. Pendidik, orang tua, masyarakat akan digirig pada pemikiran: siswa yang sukses adalah siswa yang memiliki nilai ujian yang tinggi. Tentu hal ini sangat jauh dari tujuan pendidikan itu sendiri, yaitu memanusiakan manusia. Tiap anak unik, membawa potensi untuk menjalani peran kehidupan masing-masing. External test, juga secara masiv mendorong sekolah dan guru untuk mengejar materi, “memaksa” siswa untuk menguasai materi agar dapat mencapai nilai ujian setinggi-tingginya.
- FILSAFAT, IDEOLOGI, PARADIGMA DAN TEORI PENILAIAN KONSTRUKTIVISME
Konstruktivisme, dikemukakan oleh Jerome Bruner pada tahun 1966, menekankan bahwa peserta didik memiliki kemampuan untuk menarik atau menyimpulkan ide berdasarkan pengetahuan atau pengalaman mereka di masa lalu dan sekarang (Olorode dan Jimoh, 2016). Konstruktivisme adalah pendekatan pembelajaran yang menyatakan bahwa orang secara aktif mengkonstruksi atau membuat pengetahuan mereka sendiri dan bahwa realitas ditentukan oleh pengalaman pembelajar (Kirthika, 2022; Kurt, 2021). Manusia mengkonstruksi pemahaman dan pengetahuan atas dunia melalui pengalaman dan refleksi atas pengalaman itu sendiri (Akpan dkk, 2020). Artinya, ketika mendapatkan pengalaman baru, terjadi proses rekonsiliasi dengan ide dan pengalaman sebelumnya. Proses berpikir ini akan menyebabkan konstruksi pengetahuan baru.
Uraian di atas menunjukkan bahwa konstruktivisme memposisikan manusia sebagai pencipta aktif atas pengetahuan mereka sendiri. Di dalam kelas, pandangan konstruktivis tentang pembelajaran dapat digunakan untuk mendorong peserta didik untuk menggunakan pendekatan praktis untuk menciptakan lebih banyak pengetahuan, merefleksikan dan berbicara tentang apa yang mereka lakukan. Konstruktivisme tidak menekankan pada menghafal konsepsi dan definisi dari orang lain, tetapi menekankan bahwa peserta didik menciptakan definisi, makna, dan pemahaman mereka sendiri berdasarkan pengalaman.
Poin utama konstruktivisme menurut Kurt (2021), sebagai berikut:
a. Pengetahuan dikonstruksi. Setiap siswa mulai belajar dengan beberapa pengetahuan yang sudah ada sebelumnya dan kemudian terus membangun pemahaman mereka di atas itu. Mereka akan memilih bagian mana dari pengalaman yang akan ditambahkan, hal ini membuat pengetahuan setiap orang menjadi unik.
b. Belajar adalah aktivitas sosial. Berinteraksi dengan orang lain sangat penting untuk membangun pengetahuan. Kerja kelompok, diskusi, percakapan, dan interaksi semuanya penting untuk menciptakan pemahaman.
c. Belajar adalah proses yang aktif. Siswa harus secara aktif terlibat dalam diskusi dan kegiatan untuk membangun pengetahuan. Tidak mungkin bagi siswa untuk mengambil peran pasif dan menyimpan informasi. Untuk membangun gagasan yang bermakna, harus ada respons inderawi.
d. Pembelajaran bersifat kontekstual. Isolasi bukanlah cara terbaik untuk menyimpan informasi. Kita belajar dengan menjalin hubungan antara apa yang kita yakini dan informasi yang sudah kita miliki. Belajar juga terjadi dalam situasi dalam konteks kehidupan kita, atau di samping pemahaman kita yang lain. Kita merefleksikan kehidupan kita dan mengklasifikasikan informasi baru karena sesuai dengan perspektif kita saat ini.
e. Individu belajar untuk belajar, saat mereka belajar. Ketika setiap siswa bergerak melalui perjalanan belajar, mereka menjadi lebih baik dalam memilih dan mengatur informasi. Mereka mampu mengklasifikasikan ide-ide dengan lebih baik dan menciptakan sistem pemikiran yang lebih bermakna. Mereka juga mulai menyadari bahwa mereka mempelajari banyak ide secara bersamaan, misalnya, jika mereka menulis esai tentang peristiwa sejarah, mereka juga mempelajari elemen tata bahasa tertulis. Jika mereka belajar tentang tanggal-tanggal penting, mereka juga belajar bagaimana mengatur informasi penting secara kronologis.
f. Pembelajaran ada dalam pikiran. Kegiatan langsung dan pengalaman fisik tidak cukup untuk mempertahankan pengetahuan. Keterlibatan aktif dan refleksi sangat penting dalam perjalanan pembelajaran. Untuk mengembangkan pemahaman yang menyeluruh, siswa harus mengalami kegiatan secara mental juga.
g. Pengetahuan bersifat pribadi. Perspektif setiap orang itu unik, demikian juga pengetahuan yang diperoleh. Setiap individu datang ke dalam kegiatan pembelajaran dengan pengalaman mereka sendiri dan akan mengambil hal-hal yang berbeda juga. Teori pembelajaran konstruktivis didasarkan sepenuhnya pada perspektif dan pengalaman masing-masing individu.
h. Motivasi adalah kunci untuk belajar. Mirip dengan partisipasi aktif, motivasi adalah kunci untuk membuat koneksi dan menciptakan pemahaman. Siswa tidak dapat belajar jika mereka tidak mau merefleksikan pengetahuan yang sudah ada sebelumnya dan mengaktifkan proses berpikir mereka. Sangat penting bagi para pendidik untuk memotivasi siswa mereka agar terlibat dalam perjalanan pembelajaran.
Kelas konstruktivis fokus pada aktivitas peserta didik. Ruang kelas bukan lagi tempat guru menuangkan pengetahuan kepada peserta didik yag pasif, guru lebih berfungsi sebagai fasilitator yang melatih, mendorong, membantu peserta didik mengemabnagkan dan menilai pemahaman mereka (Umida dkk, 2020). Sehingga hal ini membawa konsekuensi pada pembelajaran dan penilaian. Karena dalam konstruktivisme, peserta didik juga perlu memiliki ketrampilan untuk menilai pemahaman mereka sendiri. Artinya proses penilaian perlu dirancang agar dapat membantu peeserta didik melakukan self-asssessment pada pemahaman dan capaian mereka.
Penilaian di kelas konstruktivis, dapat dilakukan dengan mengamati kinerja siswa dalam kegiatan pembelajaran, portofolio, proyek investigasi, tes prestasi untuk menilai kemampuan belajar siswa (Kirthika, 2022). Lebih lanjut Kirthika menyebutkan bahwa peran guru dalam penilaian konstruktivis sebagai berikut:
a. Guru akan sering memberikan pertanyaan terbuka di dalam kelas dan dengan sabar menunggu untuk mendapatkan respon siswa.
b. Guru lebih mementingkan pemikiran tingkat tinggi dan penalaran logis siswa.
c. Guru memberikan kesempatan yang memadai bagi siswa untuk berinteraksi di antara mereka
d. Guru akan mendorong siswa untuk berdiskusi dan saling berbagi pengalaman belajar mereka.
e. Siswa didorong untuk belajar dengan menyelidiki dan berpikir kritis
f. Lebih mementingkan pembelajaran siswa, berdasarkan pemecahan masalah.
g. Teknik-teknik instruksional seperti sesi interaksi kelompok, pembelajaran kooperatif, pembelajaran kolaboratif, kerja proyek kelompok, memecahkan teka-teki, jigsaw akan semakin banyak digunakan oleh guru.
Penilaian idealnya diikuti dengan pemberian feedback atau umpan balik. Pendidik usia sekolah dan pra-sekolah idealnya menggunakan praktik dan prosedur penilaian yang dirancang untuk memberikan umpan balik yang jelas, bermakna, dan tepat waktu (ontario.ca/kindergarten). Umpan balik sebagai fitur utama yang mengkoreksi, membimbing, dan memotivasi siswa untuk terus belajar. Feedback sebagai proses konstruktivis sosial idealnya menggunakan dua tahapan penilaian, yaitu draft, feedback, pengerjaan ulang oleh siswa (Mahony, 2017). Hal ini tentu menguntungkan siswa untuk memperbaiki kinerja belajar. Siswa mengerjakan tugas, guru memberikan feedback, siswa diminta mengerjakan kembali.
- PRAKSIS PENILAIAN INOVATI
a. SINTAK PENILAIAN
Penilaian adalah proses yang berkelanjutan dan dapat diangggap sebagai sebuah siklus yang terdiri dari: menentukan misi dan tujuan, mengartikulasikan hasil belajar siswa, menyelaraskan hasil dan pengalaman belajar, memilih metode penilaian dan mengumpulkan data, menafsirkan dan menggunakan hasil (scu.edu, tanpa tahun). Menurut Academic Program Assessment, University of Georgia, langkah-langkah dalam proses penilaain meliputi: identifikasi hasil pembelajaran siswa, tentukan metode penilaian untuk setiap hasil pembelajaran siswa, kumpulkan bukti, menafsirkan bukti, tinjau hasil dan terapkan perubahan berdasarkan hasil untuk “menutup siklus”.
Penentuan tujuan pembelajaran memberikan arah pada pengalaman belajar dan penilaian. Harus ada kecocokan antara tujuan belajar, kegiatan belajar, dan penilaian (Genon&Torres, 2020). Tujuan tersebut kemudian diturunkan dalam berbagai bentuk penilaian yang direncanakan, sekali lagi harus sesuai dengan pengalaman belajar peserta didik. Misal tujuan pembelajaran adalah peserta didik dapat membuat indikator asam basa dari bahan alam. Peserta didik diberi pengalaman belajar melakukan ekstraksi berbagai tumbuhan dan mencoba-coba ekstrak tumbuhan direaksikan dengan larutan asam, larutan basa. Penilaian yang direncanakan dalam skenario pembelajaran tersebut antara lain penilaian unjuk kerja, penilaian poster hasil, penilaian mindmap. Bandingkan jika penilaian hanya dalam bentuk posttest tertulis? Penilaian unjuk kerja, penilaian poster hasil, penilaian mindmap dapat merekam secara lebih komprehensif proses belajar peserta didik dan tentunya sesuai dengan pengalaman belajar yang diterima.
Setelah menentukan bentuk penilaian, perlu dilakukan pengembangan instrumen. Pengembangan instrumen tentu perlu memperhatikan validitas isi dari instrument itu sendiri, sehingga instrumen benar-benar mengukur apa yang akan diukur. Pelaksanaan penilaian dilakukan selama proses pembelajaran, pendidik dapat mengamati unjuk kerja, sikap, dan sebagainya. Hasil penilaian digunakan oleh guru untuk memperbaiki proses pembelajaran, digunakan oleh siswa untuk memperbaiki cara ia belajar (Academic Program Assessment, tanpa tahun).
b. PENILAIAN BERBASIS KELAS
Penilaian berbasis kelas adalah setiap kegiatan kelas yang dipimpin oleh guru yang dirancang untuk mencari tahu tentang kinerja siswa pada tugas-tugas kurikulum yang akan menghasilkan informasi mengenai pemahaman mereka serta kebutuhan mereka untuk dukungan lebih lanjut (Lewkowicz&Leung, 2021). Dapat dipahami bahwa penilaian berbasis kelas merupakan penilaian yang terintergrasi proses pembelajaran, dilakukan dengan menggunakan berbagai kombinasi penilaian agar dapat memotret secara komprehensif. Proses pengumpulan, pelaporan, dan penggunaan informasi tentang penilaian menerapkan prinsip berkelanjutan dalam pembelajaran.
Selama puluhan tahun keberhasilan belajar hanya ditentukan oleh nilai akhir dari ujian. Tentu hal ini merugikan peserta didik, karena hanya menggambarkan kemampuan peserta didik melalui cara yang sangat parsial. Penerapan penilaian berbasis kelas diharapkan dapat menggambarkan kemampuan peserta didik secara lebih komprehensif.
Disebut penilaian berbasis kelas karena proses penilaiannya dilakukan selama proses pembelajaran. Penilaian berbasis merupakan bagian integral dalam proses pembelajaran yang dilakukan dengan pengumpulan dan pemanfaatan informasi yang menyeluruh tentang hasil belajar yang diperoleh peserta didik (Hill, 2017). Hasil ini untuk menetapkan tingkat pencapaian dan penguasaan kompetensi seperti yang ditentukan dalam kurikulum. Namun, tidak berhenti pada penetapan capaian. Terdapat pemberian feedback atau umpan balik untuk perbaikan proses pembelajaran. Sehingga PBK lebih berorientasi pada proses.
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa penilaian berbasis kelas memfasilitasi pemberian penghargaan pada kemajuan dan capaian belajar peserta didik, sekaligus masukan bagi guru dan peserta didik dalam penyediaan informasi untuk memperbaiki proses ke depan. Karena penilaian berbasis kelas lebih menitik beratkan penilaian proses, maka capaian peserta didik dapat lebih terdeskripsikan secara riil dan otentik. Capaian pembelajaran peserta didik tentunya menjadi bahan evaluasi kegiatan pembelajaran. Guru dapat menggunakannya untuk menentukan perencanaan pembelajaran selanjutnya. Aktivitas belajar apa yang perlu ditambah, atau bahkan diganti dengan aktivitas yang lain. Tabel IV dalam lampiran memberikan gambaran contoh penerapan PBK dalam pembelajaran kimia.
c. ASESMEN DAN PORTOFILIO
Portofolio merupakan kumpulan terbatas dari pekerjaan peserta didik yang digunakan untuk mempresentasikan karya terbaik ataupun menunjukkan perkembangan pendidikan peserta didik selama periode tertentu (Nitko & Brookhart, 2014). Definisi tersebut menunjukkan tujuan penilaian portofolio yaitu menyajikan karya terbaik atau menunjukkan perkembangan pendidikan. Tentu butuh perancangan penilaian untuk tiap tujuan portofolio. Penyajian karya terbaik merupakan bentuk penilaian sumatif. Portofolio untuk tujuan ini berisi karya-karya terbaik yang dipilih untuk memberikan bukti pencapaian target pembelajaran tertentu. Sedangkan untuk portofolio perkembangan berisi contoh-contoh pekerjaan peserta didik yang disertai komentar yang menunjukkan seberapa baik kemajuan belajar selama periode tertentu. Portofolio perkembangan tidak fokus pada produk akhir, tapi digunakan untuk tujuan formatif untuk memantau kemajuan belajar, cara berpikir, mendiagnosis kesulitan belajar, memandu pembejaran ataupun pemikiran baru.
Assessment and Curriculum Support Center menyebutkan manfaat penilaian portofolio, yaitu: 1) memungkinkan sekolah untuk menilai serangkaian tugas yang kompleks, termasuk pembelajaran dan kemampuan interdisipliner, dengan contoh-contoh dari berbagai jenis pekerjaan siswa, 2) membantu fakultas mengidentifikasi kesenjangan kurikulum, kurangnya keselarasan dengan hasil, 3) mendorong diskusi tentang pembelajaran siswa, kurikulum, pedagogi, dan layanan dukungan siswa, 4) mendorong refleksi siswa tentang pembelajaran mereka. Siswa dapat memahami apa yang telah dan belum mereka pelajari, 5) memberikan dokumentasi kepada siswa untuk karir pendidikan selanjutnya.
Selama proses instruksional, siswa dan guru bekerja sama untuk mengidentifikasi karya-karya penting dan proses yang diperlukan untuk portofolio. Ketika siswa mengembangkan portofolio mereka, mereka dapat menerima umpan balik dari rekan-rekan dan guru tentang pekerjaan mereka. Karena jumlah waktu yang diperlukan untuk proyek portofolio lebih banyak, maka ada kesempatan yang lebih besar untuk introspeksi dan refleksi kolaboratif. Hal ini memungkinkan siswa untuk merefleksikan tentang proses berpikir mereka sendiri dan mengamati pemahaman mereka yang muncul tentang mata pelajaran dan keterampilan. Proses portofolio bersifat dinamis dan dipengaruhi oleh interaksi antara siswa dan guru (Davis & Ponnamperuma, 2005).
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa satu bentuk penilaian yang “memanusiakan” peserta didik adalah penilaian portofolio. Mengapa? Karena penilaian portofolio merekam secara komprehensif proses dan kemajuan belajar peserta didik, tidak semata melihat keberhasilan di ujian akhir. Apakah adil bagi peserta didik jika keberhasilan belajar mereka hanya dilihat di ujian akhir? Tabel IV dalam lampiran memberikan gambaran mengenai penerapan penilaian portofolio pada pembelajaran kimia.
Referensi:
Academic Program Assessment University of Georgia, Steps in the assessment process, https://assessment.uga.edu/howto/steps/
Akpan, V.I., Igwe, U.A., Mpamah, I.B.I. & Okoro, C.O. (2020). Social constructivism: implications on teaching and learning. British Journal of Education. 8(8), pp.49-56.
Assessment and Curriculum Support Center, University of Hawai at Manoa. Using portofolios in program assessment. https://manoa.hawaii.edu/assessment/resources/using-portfolios-in-program-assessment/#one
Brookhart, S.M. (2010). How to assess higher-order thinking skills in your classroom. Virginia: ASCD.
CADRE. (2012). New Measurement Paradigms. http://cadrek12.org/sites/default/files/NMP%20Report.pdf
Davis, M.H. & Ponnamperuma. (2005). Portfolio Assessment. JVME, 32(3). https://www.researchgate.net/publication/7506529_Portfolio_Assessment#fullTextFileContent
Ferrare, J.J. (tanpa tahun). Evaluation Paradigms. https://static1.squarespace.com/static/54551900e4b0e2ecd6c56e5d/t/5c5c4d8bf4e1fc88929ff307/1549553041408/3Paradigms.pdf
Galbraith, P. (1993). Paradigms, problems and assessment: some ideological implications. https://link.springer.com/chapter/10.1007/978-94-017-1974-2_5
Genon, L.J.D. & Torres, C.B.P. (2020). Constructive alignment of assessment practices in English language classrooms. English Language Teaching Educational Journal, 3(3), pp.211-228.
Hakim, L. (2022). Strategies for the constructive use of varied assessment methods. https://www.timeshighereducation.com/campus/strategies-constructive-use-varied-assessment-methods
Hill, K. (2017). Understanding classroom-based assessment practices: a precondition for teacher assessment literacy. Language Testing and Assessment, 6(1). https://www.altaanz.org/uploads/5/9/0/8/5908292/3.si1hill_final_formatted_proofed.pdf
Jena, S.S. & Behera, D. Constructivist approach: an outlook towards assessment of students’learning. https://scholar.google.com/citations?view_op=view_citation&hl=en&user=yIy9uSEAAAAJ&citation_for_view=yIy9uSEAAAAJ:u-x6o8ySG0sC
Kirthika. (2022). Constructive Approach in Assessment/ Changing Assessment Practice, https://www.teacherscript.com/2022/04/constructive-approach-in-assessment.html
Kurt, S. (2021). Constructivist learning theory. https://educationaltechnology.net/constructivist-learning-theory/
Leod, S.Mc. (2019). Constructivism as a theory for teaching and learning. https://www.simplypsychology.org/constructivism.html
Lewkowicz, J. & Leung, C. (2021). Classroom-based assessment. Language Teaching. 54 (1), pp.47-57. https://doi.org/10.1017/S0261444820000506
Mahony, T.O. (2017). The Impact of a Constructivist Approach to Assessment and Feedback on Student Satisfaction and Learning: A case-study. AISHE-J, 9(2), https://ojs.aishe.org/index.php/aishe-j/article/view/287/519
Marling, C.D. (2012). Social Construction of Learning. https://www.researchgate.net/publication/315075911_Social-Constructivist_Learning_Theory/link/5b3388c34585150d23d662e7/download
Marsigit. (2014). Refleksi pendidikan kontemporer Indonesia. Makalah: dipresentasikan pada Rapat Majelis Guru Besar UNY.
______. (2018). Pengembangan Kurikulum Pendidikan Matematika. Yogyakarta: Media Akademi.
Matthews, W.J. (2003). Constructivism in the Classroom: Epistemology, History, and Empirical Evidence. Teacher Education Quarterly. Pp.51-64. https://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ852364.pdf
NILOA. (2020). Activity: what is your philosophy of assessment? https://www.learningoutcomesassessment.org/wp-content/uploads/2020/05/Philosophy-Activity.pdf
Nitko, A.J. & Brookhart, S.M. (2014). Educatonal Assessment of Students. Pearson New International Edition. Sixth Edition.
Olorode, J. J. & Jimoh, A. G. (2016). Effectiveness of guided discovery learning strategy and gender sensitivity on students’ academic achievement in financial accounting in Colleges of Education. International Journal of Academic Research in Education and Review. 4(6), pp. 182-189. DOI:10.14662/IJARER2016.02.
Ontario.ca/kindergarten, Full-day kindergarten: Understanding Your Child’s Reports, https://www.edu.gov.on.ca/eng/parents/understanding_your_childs_report_en.pdf
Radenkovic, A.G. (2017). Standardizing competences and the ideology of assessment:on dissociated knowledge and dispossessed actors in EU language education policy. Critical Multilingualism Studies, 5(1), pp. 85–111. https://cms.arizona.edu/index.php/multilingual/article/view/107/152
Scu.edu. Santa Clara University, The assessment process, https://www.scu.edu/provost/institutional-effectiveness/assessment/the-assessment-process/
Shah, R.K. (2019). Effective constructivist teaching learning in the classroom. Shanlax International Journal of Education. 7(4), 1-13. DOI: https://doi.org/10.34293/education.v7i4.600
Stiggins, R.J. (1998). Classroom Assessment for Student Success. Washington: National Education Association.
Umida, K., Dilora, A. & Umar. E. (2020). Constructivism in teaching and learning process. European Journal of Research and Reflection in Educational Sciences. 8(3), https://www.idpublications.org/wp-content/uploads/2020/03/Full-Paper-CONSTRUCTIVISM-IN-TEACHING-AND-LEARNING-PROCESS.pdf
Western and Northern Canadian. (2006). Rethinking classroom assessment with purpose in mind: assessment for learning, assessment as learning, assessment of learning. https://open.alberta.ca/dataset/b1a79a94-b2b6-4b85-bbd9-76b5dcc2a5f4/resource/575762b3-a8cf-4455-8f21-8b0e604f94b6/download/2006-rethinking-classroom-assessment-purpose-mind-assessment-learning.pdf